Menurut
Fayakhun Andriadi semua fasilitas
yang bisa mereka nikmati di sosial media ini tidak bisa mereka dapatkan di
dunia politik “nyata”. Ada ruang kebebasan yang sangat luas, yang itu sangat
sesuai dengan karakteristik generasi muda: pemberontak, kritis, tidak mudah
menerima, dialogis, dan berbagai kecenderungan interaktif lainya.
“Jadi, sifat generasi muda yang tidak suka diperlakukan monolog (satu arah), ditampung oleh teknologi digital dalam bentuk fasilitas yang tersedia yang serba interaktif,” ungkap FayakhunAndriadi.
“Jadi, sifat generasi muda yang tidak suka diperlakukan monolog (satu arah), ditampung oleh teknologi digital dalam bentuk fasilitas yang tersedia yang serba interaktif,” ungkap FayakhunAndriadi.
Untuk
konteks Indonesia menurut FayakhunAndriadi apakah kehadiran teknologi digital dalam dunia politik telah
berkontribusi pada peningkatan partisipasi politik generasi muda atau pemilih
pemula? Belum ada data riset yang valid tentang hal ini. “Namun setidaknya ada
satu fakta yang mungkin saja memiliki korelasi dengan hal itu,” ujar Fayakhun Andriadi.
Menurut
Fayakhun Andriadi setelah pemilihan
umum tahun 1971, tingkat partisipasi politik rakyat Indonesia mengalami
penurunan secara teratur. Pada Pemilu 1971, tingkat partisipasi politik pemilih
mencapai 96,6 persen, dengan jumlah Golongan Putih (golput) hanya 3,4 persen.
Pada dua Pemilu setelahnya, tahun 1977 dan 1982, tingkat partisipasi politik
menurun namun hanya tipis saja. Pada Pemilu 1992, tingkat partisipasi politik
95,1 persen dan Pemilu 1997 mencapai 93,6 persen. Di tahun-tahun ini, angka
Golput mulai merangkak ke 6,4 persen.
Jika
merujuk pada dua bentuk partisipasi politik, bagi Fayakhun Andriadi mengungkapkan yaitu otonom partisipasi(autonoms
participation) dan partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation),
dapat disimpulkan bahwa tingginya partisipasi pada era Orde baru ini lebih
karena faktor mobilisasi atau tekanan dari penguasa. Artinya, fakta ini tidak
bisa sepenuhnya menjadi indikator.
Menurut
Fayakhun Andriadi memasuki Pemilu
era reformasi, Pemilu 1999, tingkat partisipasi memilih menyentuh 92,6 persen.
Tapi angka Golput menjadi semakin tinggi pada Pemilu Legilatif 2004, yaitu 15,9
persen. Dengan kata lain, tingkat partisipasi politik pemilih menurun drastis
menjadi 84,1 persen. Pada Pilpres 2004, tingkat partisipasi politik semakin
menurun menjadi 78,2 persen dan jumlah Golput 21,8 persen.
“Pada
Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih terus
mengalami penurunan hanya 70,9 persen. Pada Pilpres 2009, tingkat partisipasi
politik pemilih menurun menjadi 71,7 persen dan jumlah golput mencapai 28,3
persen,” ujar Fayakhun Andriadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar